Ikal Harun

Terlalu Membenci Sesuatu Itu Berbahaya

Leave a Comment
Tidak bisa kita ingkari dalam mengarungi hidup yang dibilang fana ini membuat kita cenderung mampu atau sering menjadi bisa memilah dan memilih mana sekiranya hal-hal yang kita suka dan mana yang kita benci. Seharusnya ini adalah hal paling lumrah yang bisa dipahami dalam sejarah peradaban manusia. Tapi, entah hanya saya atau kalian pun pernah merasakan bagaimana Tuhan menunjukan bahwa terkadang sesuatu yang kita benci bisa menjadi hal yang kita sukai.

Dalam konteks ini kita abaikan dulu faktor kekhilafan dan human error karena bagi saya alasan-alasan seperti itu kerap dijadikan pembenaran semata. Saya pernah mendengar serta membaca bahwa dalam Al-Quran dituliskan tentang hal yang sama yang menyatakan bahwa bisa jadi kita membenci sesuatu padahal itu baik bagimu dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Secara teori ini cukup menjawab kekhilafan saya. Namun itu kurang cukup bagi saya yang cukup skeptis untuk hal-hal yang receh sekalipun. Setidaknya harus ada faktor teknis yang membuat saya menyalahi idealis sebagai manusia yang masih bisa membedakan mana yang saya benci dan mana yang saya suka, mana yang baik dan buruk, mana Young Lex dan mana Saykoji, oke abaikan.

Sedikit bocoran bahwa saya pernah melakukan kekhilafan yang sudah bisa kalian tangkap garis besarnya di pengantar tadi. Nah, untuk contoh ya. Saya adalah orang yang gampang jatuh hati pada wanita yang memilki kecerdasan lebih dibandingkan saya. Ini bukan berarti saya cerdas lho. Maksud saya dia punya IQ lebih baik dari saya. Cerdas yang dimaksud ini bukan harus yang pandai matematika atau yang paham sejarah majapahit. Cerdas bagi saya adalah bagimana dia bisa memahami sesuatu dengan cara yang berbeda namun tetap tidak mengabaikan aspek ketepatan literaturnya. Percayalah tidak butuh waktu lama bagi saya untuk jatuh cinta kepada wanita-wanita yang memilki kriteria ini. Entahlah saya pun tida bisa membedakan apakah ini jatuh cinta atau hanya hasrat untuk memiliki saja.

Jadi, pada suatu ketika saya benar-benar tidak punya kekasih alias jomblo. Saya pernah jatuh cinta kepada gadis yang dulu menyukai saya sedari SMA . Kami jadian pas setelah lulus atau lebih tepatnya saat saya belum kuliah waktu itu. Entah setan apa yang merasuki saya waktu itu. Saya mendekati wanita itu dan mulai menjalankan taktik sebagai laki-laki pada umumnya yang jatuh cinta. Padahal wanita ini jauh jauh dari kata pintar. Oke mungkin itu terlalu kasar tapi sungguh tidak ada yang menarik dari wanita ini selain parasnya yang cantik dan lesung pipinya yang keterlaluan manisnya. Tapi ayolah, itu belum cukup membuat jatuh hati seorang Ikal. Namun sayangnya itu sudah terjadi.

Mungkin karna sudah kerasukan kami pun jadian dan menjalani kehidupan cinta yang saat itu lagi indah-indahnya. Yang menjadi luar biasa adalah kami pacaran selam kurang lebih 1,5 tahun dan ini merupakan prestasi luar biasa saat itu. Karena pacaran terlama sebelumnya adalah 8 bulan. Itu pun saya harus merangkak untuk move on. Dasar lemah. Ketika kami putus saya baru sadar saya menyalahi idealis saya, namun apakah itu terjadi karena faktor kekhilafan atau faktor apa?. Sampai saat ini saya berusaha mencari jawaban namun hasilnya masih buntu.



Oke, for another case. Dulu, kira-kira hampir 2 tahun yang lalu saya adalah manusia yang paling benci dengan asap rokok. Sumpah saya rela harus memaki teman agar dia bisa mematikan asap rokoknya yang hampir tidak ada bedanya dengan fogging. Kebencian ini juga hadir karena benci melihat Papa yang menjadi perokok aktif sejak saya kecil. Harus saya akui bahwa lingkungan membentuk pola. Kalau kita tidak cukup kuat maka kita akan terbawa susana lingkungan tersebut. sebagai mahasiswa yang dulunya menggemari organisasi maka asap rokok seolah menjadi bonus ketika tengah berdiskusi. Seolah mereka akan sakau ketika tidak merokok di malam hari atau tengah meminum kopi hitam tanpa gula.

Suatu ketika kami melakukan event besar. Saya katakan besar karena mengundang salah satu artis yang lagi meledak saat itu. Iya, kami mengundang Abdur SUCI 4. Mungkin bagi kalian luar Gorontalo heran kenapa kami bisa jatuh hati kepada Abdur yang isi materinya selalu tentang kritik sosial dan Indonesia timur yang dimarjinalkan. tetapi sungguh Abdur itu lucu. Oke lewati bagian Abdur. Nah, disaat kami mengundang Abdur yang seharusnya tampil malam minggu ternyata kami mendapat musibah bahwa dia tidak bisa tampil karena ketinggalan pesawat di Makassar. Jelas saya marah bukan kepalang. Bahkan manajer Abdur yang logat jawanya kental itu saya marah-marah dan saya bentak-bentak karena tidak bisa profesional. Namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Abdur tetap tidak bisa datang. Itu adalah malam paling stres yang tidak akan saya lupakan. Bagaimana tidak, para penonton sedikit lagi akan datang dan mereka pasti akan kecewa karena Abdur tidak jadi datang.

Kami pun segera mengirimkan broadcast via BBM dan sosmed lainnya bahwa Abdur batal tampil dan hanya akan tampil pada besok malamnya. Sebagaian kecil penonton kecewa dan melakukan refund. Sebagian besar lainnya memilih tidak masalah dan akan tetap datang. Kami pun lemas . Kursi-kursi yang tertata rapi menjadi  pemandangan yang tidak mengasyikkan. Disinilah saya gagal mempertahankan idealis sebagai anti rokok. Disaat seperti itu saya melihat salah satu teman saya menawarkan rokok kepada teman-teman lain. Tanpa sadar saya ikut mengambil dan ikut merokok. Sebagian dari mereka melongo dan seperti tak percaya. Yang lain bahagia seperti melihat teman baru dalam aliansi pecinta rokok Indonesia. Saat itu saya bodoh amat. Saya nikmati saja rokoknya toh hanya untuk malam ini saja. Sepertinya prediksi itu melenceng. Sampai saat ini saya masih merokok.

well, Sebenarnya ada beberapa hal yang lain yang serupa hanya saja saya tidak mau menjadi kepanjangan dan terkesan drama. Namun dari cerita di atas saya meyakini bahwa benci dan cinta itu hanya setipis daun bawang. Saya benar-benar percaya bahwa Terlalu membenci itu adalah sebuah kekeliruan. Akan ada banyak hal yang terjadi diluar prediksi kita sebagai umat yang katanya sebagai umat terbaik. Namun apapun itu saya tidak pernah menyesalinya karena everything is happen for the reason. Apapun alasannya mungkin suatu saat nanti saya akan mendapati jawabannya.
Apa kalian pernah seperti saya?
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar